Berobat Menggunakan Kartu BPJS (sumber: tokopedia.com) |
Aku memang sudah terbiasa berobat ke puskesmas menggunakan BPJS. Mulai dari sakit biasa, sampai saat aku terkena covid semuanya menggunakan BPJS dan gratis. Namun, aku belum pernah menggunakan BPJS untuk layanan konseling psikologi.
Mendaftar Layanan Psikolog dengan BPJS di Puskesmas
Sempat bingung awalnya karena kemungkinan ada prosedur yang berbeda untuk layanan konseling psikolog. Tapi, ternyata alurnya sama seperti berobat biasa ke dokter umum.
Alur ini berdasarkan pengalamanku yang memang sudah terdaftar BPJS-nya di Faskes yang telah aku pilih. Untuk kamu yang belum pernah berobat menggunakan BPJS dan ingin menggunakannya untuk konseling ke poli psikologi, mungkin bisa coba daftar dulu di Faskes BPJS-mu yang sudah terdaftar. :)
Jadi, untuk konseling ke poli psikologi puskesmas dengan menggunakan BPJS, saat tiba di puskesmas langsung saja melakukan pendaftaran seperti biasa di meja yang telah ditentukan.
Ilustrasi Pendaftaran di Puskesmas (sumber: surakarta.go.id) |
Nantinya kamu akan diminta menunjukkan kartu BPJS dan melakukan beberapa skrining kesehatan untuk memastikan bahwa kamu sehat dan tidak memiliki gejala COVID. Jika ditanya keluhan, bilang saja kalau ingin konseling ke poli psikologi.
Selanjutnya, aku diarahkan menuju loket pendaftaran untuk menerima nomor antrian sesuai layanan yang ingin aku tuju. Karena aku mau ke poli psikologi, aku diberi nomor antrian poli tersebut.
Cukup mengejutkan karena poli psikologi bebas antrian, alias sepi pasien. Selama 3 kali aku konseling, aku selalu mendapatkan nomor antrian 1 atau 2. 😄
Konseling dengan Psikolog di Puskesmas
Pertama kali aku konseling di puskesmas langsung dilayani oleh psikolog puskesmas tersebut. Sejujurnya, aku kurang puas dengan treatment dari psikolognya.
Karena merasa seperti tidak betul-betul didengarkan dan responnya juga kurang sreg buatku. Misalnya, aku diminta untuk sabar, pengertian terhadap situasi, dan hal-hal yang mengarah bahwa aku lah yang harus mengikuti situasi yang aku hadapi.
Bisa dibilang, seperti curhat ke orang yang kurang memberikan solusi. Diminta untuk selalu sabar. Padahal bukan itu yang aku harapkan. Aku seperti tidak didengarkan. 😤
Kemudian, saat sesi menjelang berakhir. Aku diberikan PR untuk rutin melakukan afirmasi dan berterimakasih pada diriku sendiri setiap bangun tidur. Lalu, aku diminta untuk konseling lagi minggu depan untuk memberitahu perkembanganku.
Meskipun aku waktu itu agak kurang puas, tapi bolehlah aku coba sekali lagi untuk konseling ke perkembangan selanjutnya.
Minggu kedua aku kembali konseling, aku bertemu dengan psikolog yang beda. Bukan ibu-ibu yang kemarin, tapi psikolog ini lebih muda.
Aku merasa jauh lebih baik konseling dengan mbak psikolog ini. Aku merasa didengarkan dan mbak psikolog-nya juga mencoba memahami situasi yang sedang aku hadapi.
Aku diberikan pandangan baru untuk melihat permasalahanku dari sudut pandang lain dan juga solusi yang bisa aku lakukan untuk menghadapinya. Bahkan, aku diajak untuk melakukan psikoterapi.
Karena aku belum pernah melakukan psikoterapi, aku tertarik dan penasaran. Jadi, kami mengagendakan untuk psikoterapi buatku.
Psikoterapi yang diberikan adalah teknik empty chair. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan emosi atau menyampaikan hal-hal yang ingin aku katakan dengan seseorang tapi tidak bisa aku katakan langsung. Jadi, aku seolah-olah duduk di hadapan orang yang ingin aku ajak bicara dan aku menyampaikan semua yang ingin aku katakan.
Ilustrasi Terapi Gestalt Empty Chair (sumber: adyrna.kz) |
Memang, sih, perasaan setelah melakukan psikoterapi tersebut enggak sepenuhnya membuat aku tenang. Namun, setidaknya aku jadi merasa lebih lega karena aku bisa menyalurkan sesuatu yang aku pendam dalam diriku.
Awalnya memang degdegan takut enggak bisa santai, karena ngomong sendiri gitu, lho hahaha. Tapi, mbak psikolog-nya sukses bikin aku nyaman dengan diriku sendiri dan akhirnya aku bisa meluapkan sebagian besar yang ingin aku sampaikan.
Kemudian, aku melakukan janji konseling lagi dengan mbak psikolog. Ternyata, konseling berikutnya adalah konseling terakhir dengan mbaknya. Karena, ternyata mbaknya adalah mahasiswa S2 yang sedang praktik (semacam KOAS mungkin, ya) di puskesmas dan waktu praktiknya sudah selesai.
Tapi, dengan selesainya tugas dia di puskesmas juga aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Jadi, aku pikir konselingnya bisa dicukupkan.
Biayanya gimana? Karena aku menggunakan BPJS, jadi selama 3 kali konseling di puskesmas gratis! Aku enggak mengeluarkan uang sepeserpun, kecuali buat bayar parkir motor 😂
Hemat sekali, bukan~
Memang meskipun untuk konseling di puskesmas sepertinya cocok-cocokan dengan psikolog-nya. Aku juga awalnya agak skeptis, sih. Khawatir bertemu dengan psikolog 'konvensional' yang enggak mendengarkan dan memahamiku dengan seksama, dan ternyata kejadian, hahaha!
Untung ada mbak psikolog yang sedang bertugas. Jadi, aku merasa sangat terbantu untuk meringankan permasalahanku. Terima kasih banyak, ya, mbak Helsa! 😉
---
Buat kamu yang ingin konseling ke psikolog namun terbatas biaya dan punya BPJS, kamu bisa memanfaatkan BPJS-mu. Coba caritahu, apakah Faskes yang terdaftar di BPJS-mu menyediakan layanan psikolog? Jika iya, enggak ada salahnya dicoba.
Tapi, kalau ternyata tidak ada layanan psikolog di Faskes tempat kamu terdaftar, kamu bisa coba tanyakan ke puskesmas terkait apakah jika ingin konseling bisa meminta rujukan ke puskesmas atau RS lain.
Yuk, mulai sayangi dirimu dengan menjaga kesehatan mental kamu! 💖
0 comments:
Post a Comment