Sunday 24 December 2017

Adek Berry dan Mata Lensa: Sebuah Mimpi


Adek Berry, pewarta foto perempuan yang saya kagumi. Bisa jadi mba Adek adalah sosok yang membuat saya jadi semangat mendalami bidang jurnalistik (meskipun sebenarnya saya belum kesampaian untuk terjun ke dalam profesi mulia ini haha). Menyenangkan bahwa mba Adek akhirnya merilis sebuah buku yang ditulisnya sendiri, yang membuat saya jadi ingin mengenali sosok mba Adek lebih dalam.

Saya lupa persisnya kapan mengetahui nama Adek Berry. Tapi, saya ingat betul saat akhirnya saya menemukan artikel tentang sosok ibu dua anak ini, saya langsung kagum. Ketertarikan saya dengan fotojurnalistik semakin menggebu-gebu.

pic source: astralife

Awalnya cukup sulit untuk mengetahui sosok pewarta wanita ini selain dari bacaan artikel yang saya temui di internet. Saya tidak berteman dengan beliau di Facebook (kalau tidak salah karena temannya sudah full), akun Instagram mba Adek juga saat itu belum ada, saya sampai cari melalui hastag tapi hanya menemukan foto-foto mba Adek dari Instagram orang lain.

Hingga akhirnya beliau memiliki akun Instagram, saya pun langsung mengikuti akunnya. Apalagi tak berselang lama, mba Adek mengumumkan akan meluncurkan sebuah buku yang ia tulis. Saya sangat excited. Saya bahkan membeli bukunya saat pre-order pertama. Saya tak sabar untuk membaca buku itu.

Buku "Mata Lensa" akhirnya sampai ke tangan saya. Saya yang saat itu tengah menyantap makan siang tiba-tiba merasa kenyang. Malah ingin menyantap buku mba Adek ini. Senang sekali pada halaman depan mendapat bubuhan tanda tangan mba Adek, dilengkapi dengan kartu pos dengan hasil foto mba Adek.

Kartu pos bergambar karya foto mba Adek beserta tanda tangan

Saya membaca bulu "Mata Lensa" ini dengan santai. Ingin menghayati setiap lembarnya. Ingin menyerap informasi dan pelajaran tentang mba Adek dan profesi fotojurnalistik.

Bagian pertama buku "Mata Lensa" menceritakan tentang kehidupan mba Adek semasa kecil hingga lulus kuliah. Saya merasa terlambat saat mengetahui mba Adek senang menulis sejak duduk di bangku sekolah dan tertarik dengan fotografi dari kuliah. Sementara saya, baru menggemari hal ini belum lama. Ditambah lagi saya lulus kuliahnya jauh lebih lama dari mba Adek. Jujur, saya sempat nge-down. :")

Usai lulus kuliah, petualangan mba Adek di dunia jurnalistik dimulai. Mba Adek menceritakan secara detail bagaimana ia mempelajari jurnalistik secara bertahap dari beberapa kantor media yang menaunginya. Tahapan itu membuat mba Adek semakin tertantang menggeluti profesi jurnalistik.

Seorang jurnalis harus selalu membangun network dan memeliharanya.
 Adek Berry, Mata Lensa p.55

Cerita-cerita pengalaman mba Adek selama menjadi seorang jurnalis dan pewarta juga dituangkan secara sempurna. Memainan perasaan banget nih buku "Mata Lensa". Cerita pertama yang disajikan adalah saat mba Adek meliput Tragedi 1998 saat masih bekerja di Tajuk. Cukup deg-degan juga saya bacanya. Tergambar di kepala saya saat itu suasana tengah ricuh.

Kemudian cerita berlanjut (dan semakin dalam) ketika mba Adek bekerja di AFP sebagai pewarta foto. Liputan yang pernah dilalui mba Ade ini sangat random. Mulai dari mendaki gunung, bencana alam, medan perang, hingga berada di dalam istana kepresidenan.

Penyajian dalam menceritakan pengalamannya itu seakan sengaja dibuat dengan memainkan ritme perasaan (halah). Benar deh ini, enggak bohong. Mungkin pada bagian Tragedi 1998 itu saya deg-degan, tapi setelah masuk ke bagian berikutnya, perasaan saya semakin deg-degan, lalu terharu, kemudian tercengang, dan akhirnya sampai juga anti klimaks. :))

Bagian meliput bencana alam ini sungguh emosional sekali. Saya bisa sedikit merasakan apa yang mba Adek rasakan saat itu. Bagaimana ketika ia harus menjalani tugasnya untuk meliput, namun pada waktu yang bersamaan sisi kemanusiaannya juga ikut tersentuh. Sebagai pembaca, situasi sulit seperti itu cukup bisa saya rasakan. Ketika mba Adek mendeskripsikan suasana sekitarnya tengah kepayahan akibat dilanda bencana alam, saya ikut membayangkan dan tersentuh.

Satu sisi, hatiku miris menyaksikan warga yang menangis dan tercenung di depan rumah mereka yang tinggal puing. Di sisi lain, aku harus mengerjakan tugas sebagai jurnalis yang meliput peristiwa.
 Adek Berry, Mata Lensa p.115 

Cerita kemudian berlanjut saat mba Adek terjun ke wilayah konflik di Afghanistan. Ini salah satu cerita pengalaman yang saya tunggu dari mba Adek. Perasaan saya kembali dibuat deg-degan dengan tugas embedded mba Adek dengan pasukan militer Amerika Serikat. Enggak hanya soal tugas embedded, bagian klimaksnya justru dengan kejadian lain. Saya enggak mau ngasih spoiler, pokoknya cukup mencekam. Apalagi, ada kisah menyedihkan yang turut berdampak dari kejadian tersebut.

Bagian berikutnya, tempo penulisan sudah mulai menurun karena penugasan mba Adek sudah tidak begitu mencekam lagi, yakni ditempatkan di istana kepresidenan. Meskipun sempat sedikit naik saat bercerita tentang pemakaman salah seorang teroris yang sangat heboh pada waktu itu.

Sebelum mengakhiri tulisan, mba Adek juga menceritakan mengenai keluarganya. Mba Adek sangat beruntung mendapat dukungan dari keluarga. Mulai sejak kecil sudah dapat dukungan penuh dari sang ayah beserta ibu dan juga kakak-kakaknya untuk menekuni dunia jurnalistik.

Saat menikah pun, sang suami mendukung pekerjaan mba Adek yang kesannya sangat jauh dari image ibu rumah tangga (I mean, ibu-ibu ke medan perang?). Enggak jarang mba Adek harus meninggalkan kedua anaknya untuk mengemban tugas. Malahan, mba Adek sempat-sempatnya meliput saat dirinya sedang hamil. Kendati demikian, mba Adek tetap berperan (dan selalu berusaha) untuk menjadi ibu yang baik kedua anaknya.

Pengalaman-pengalaman mba Adek dalam "Mata Lensa", menurut saya, diceritakan secara sempurna dan lengkap. Maksudnya dalam arti, mulai dari kehidupan pribadi sebagai seorang anak, adik, istri, ibu, yang berprofesi sebagai pewarta foto. Sebagaimana profesi tersebut masih cenderung dipandang sebelah mata, yaitu sebagai profesi yang lekat dengan image laki-laki.

Namun, image itu runtuh seketika ketika mengetahui bahwa di luar sana mulai banyak bermunculan perwarta-pewarta foto perempuan yang tidak kalah tangguhnya dari laki-laki. Salah satunya, mba Adek Berry.

Terima kasih atas pengalaman yang telah dibagikan dan dituangkan melalui tulisan di "Mata Lensa" ini, mba Adek. Benar-benar menginspirasi saya. Apalagi setelah membaca buku mba Adek ini, saya jadi rajin baca-baca buku lain, menyerap informasi-informasi baru tentang apapun itu. Saya juga jadi semakin bersemangat mengasah kemampuan memotret saya. Semoga suatu saat saya bisa mengikuti jejak mba Adek. :")

0 comments:

Post a Comment