Tuesday 9 February 2016

Proyek Survei

Baru-baru ini saya lagi demen ikutan proyek survei di salah satu lembaga survei. Yah, lumayan buat nambah duit jajan. Proyekan survei itu secara garis besarnya mewawancarai warga dan kebanyakan mengenai politik. Dari sini saya banyak banget belajar dan dapat pengalaman. Bagaimana masyarakat memandang politik, sampai menyusuri tipikal-tipikal warga (berhubung udah ngerasain survei di wilayah pedesaan dan komplek perumahan).

Politik. Bagi saya yang pelajar ini, politik itu sebuah ilmu. Yak, itu saja sih yang ada di benak saya hahaha. Saya kurang mengikuti perkembangan politik diberita-berita, apalagi tentang politik di Indonesia yang bagi saya sangat riweuh. Saya tidak menyelami politik. Tapi, karena saya survei tentang politik membuat saya belajar sedikit (yak sedikit aja) tentang politik Indonesia, terutama mengenai Pilkada Gubernur Jawa Barat, Pilkada serentak 2015 di Cianjur, dan yang terakhir Pilkada Walikota Cimahi.


Mengenai masyarakat terhadap politik, well, mayoritas masyarakat sangat sensitif dengan politik. Politik ditakuti. Saat saya wawancara, mereka takut kalau nama mereka nanti dicatat dan disalahgunakan. Ada juga yang sudah tidak percaya dengan politik saat ini, bahkan ada yang tidak mengerti tentang politik. Intinya, mereka menganggap kalau politik itu mengerikan dan IMO sudah dipandang negatif oleh masyarakat. Bisa jadi karena mereka menganggap kalau para pemimpin saat ini hanya mementingkan uang (gaji) semata tapi tidak menghiraukan rakyatnya, atau mungkin tidak puas dengan kinerja pemimpin yang dianggap sangat lambat dan tidak memenuhi keinginan masyarakat seluruhnya.

Kalau mengenai wajah-wajah calon pemimpin (gubernur atau walikota), responnya bermacam-macam. Ada yang secara terang-terangan menjagokan salah satu calon, tidak suka dengan salah satu calon, tidak tau apa-apa tentang semua calon, hingga ada yang tidak mau berbicara banyak dan merahasiakan pilihan. Namun, ada nama-nama pemimpin yang 100% disanjung oleh seluruh responden, salah satunya adalah Ridwan Kamil (Walikota Bandung saat ini). Hampir semuanya menginginkan pemimpin seperti beliau dan hampir tidak ada pendapat negatif kepada beliau.

Sedangkan kalau tipikal penduduknya sih, sudah pasti yang sangat ramah adalah penduduk pedesaan. Pertama kali ikutan survei, saya ditugaskan di Cicalengka. Walaupun ada yang takut ditanya-tanya, tapi hampir keseluruhan sangat baik dan menerima kehadiran saya. Engga semuanya juga sih. Dari 10 responden, saya sempat ditolak oleh 4 responden. Dengan alasan ada yang sudah tua jadi nggak mau ditanya-tanya, jaga anak karena anaknya rewel (padahal digendong anteng aja), sakit kepala, dan mau kerja. Padahal sebenarnya saya yakin mereka emang enggak mau. Penduduk Cicalengka juga bermacam-macam. Ada yang suka berinteraksi dengan tetangga, hanya berinteraksi dengan saudaranya aja, bahkan ada yang ansos. Saya mendapati 2 responden yang (sepertinya) ansos, karena hanya diam dirumah saja dan pendiam.

Serunya di Cicalengka ini saya mendapatkan responden yang asyik. Namanya Pak Kamaludin. Responden yang susah dicari, karena ternyata nama panggilannya bukan Kamaludin. Rumahnya seadanya, batu bata yang tidak dicat atau dihias macam-macam. Saat saya bertamu sudah ada indikasi kalau Pak Kamaludin ini asik, karena saat saya masih mengetuk pintu sudah mendengarkan lagu barat diputar keras di dalam rumahnya. Ternyata bener! Beliau dulunya doyan mainan kamera analog dan bedil. Saat wawancara aja lama banget sampe abis isya baru pulang. Bahkan saya menyempatkan diri mampir kerumah beliau untuk bersilaturahmi.

Nah, kalau yang penduduk di Cimahi nih kebetulan saya dapat di daerah komplek perumahan. Ada yang perumahan agak mewah, hingga yang sederhana. Kesabaran saya diuji di Cimahi. Untuk mendapatkan data KK aja susah. Apalagi ada satu RT yang gak pengen didatengin dan diwawancarai oleh saya, karena mengenai politik yang katanya mengerikan dan dianggap mengganggu privasi warga. Padahal kalau warganya gak mau ya saya nggak maksa minta wawancara, dan bahkan lagi sebenernya belum dicoba. Ibu RTnya juga nggak pengen Pak RT-nya ditemui, katanya Pak RT sibuk pulangnya larut. Padahal pas saya akhirnya ketemu (walaupun minta tanda tangan surat pernyataan penolakan), Pak RT ada dan terlihat welcome. Selain itu, padahal di RT lain dengan RW yang sama ini baik-baik saja. Sekretaris dan Pak RT-nya baik. Walaupun memang saya sempat ditolak oleh responden dan bahkan dikira minta sumbangan (HELLOOOWWWWW??!), tapi ada beberapa responden yang menerima untuk diwawancara. Yah, mungkin karena hidup di (semi) perkotaan sudah mulai agak individualis dan kurang menerima strangers.

Sebenarnya juga harus teliti saat menerima suatu pekerjaan. Saya yang menjadi surveyor, istilahnya berada di tingkat paling bawah, hanya mengerti kalau desk job-nya mewawancarai masyarakat saja. Tetapi, saya tidak tau sebenarnya hasil wawancara itu diapakan dan dikemanakan. Saya baru menyadari bahwa sebenarnya untuk tau seluk beluk itu penting. Tapi yasudahlah, toh saya juga tidak ingin menyelam lebih dalam tentang politik dan sepertinya ini kali terakhir saya ikutan survei seperti ini, karena jujur aja agak ribet apalagi di perkotaan. Saya memang kurang suka bertemu dengan strangers dengan cara seperti ini, hahaha. 

Secara keseluruhan sih saya belajar bagaimana rasanya berkunjung door to door ke rumah orang-orang yang saya nggak kenal. Bagaimana susahnya nyari duit dengan cara seperti itu. Menguji kesabaran juga apabila ditolak bahkan diusir. Yah intinya juga belajar dari cara perlakuan orang-orang tak dikenal itu kepada saya. Kalau mau diperlakukan dengan baik oleh orang lain, maka harus memperlakukan orang lain dengan baik.

0 comments:

Post a Comment