Saturday 14 December 2013

Review: Everest, Beyond the Limit (2006)

Everest: Beyond the Limit adalah film documenter series yang digarap oleh Discovery Channel. Selain itu juga bekerjasama dengan Himalayan Experience, yg merupakan jasa guide ekspedisi di 8.000-ers pegunungan Himalaya, salah satunya adalah Everest. Himalayan Experience ini sudah menjadi jasa guide yg sangat profesional. Didirikan oleh seorang pendaki asal New Zealand yaitu Russell Brice, bekerjasama dengan Sherpa. Salah satu Sherpa kepercayaannya adalah Phurba Tashi,  yg kemudian menjadi chief Sherpa di Himalayan Experience.

Di Season 1 ini terdiri dari 6 episode. Menceritakan tentang ekspedisi dari orang-orang yg menurutku tidak biasa. Para pendaki ekspedisi di season ini adalah Mogens Jensen, Mark Inglis, Max Chaya, Tim Medvetz, Brett Merrell, Terry O’Connor, dan Gerard Bouratt. Sebelum lanjut, saya akan bercerita mengenai tokoh-tokoh ini.
Source: tomsky.de
Mogens Jensen, adalah seorang pendaki profesional asal Denmark. Denmark merupakan sebuah negara yang tidak memiliki gunung tinggi, dan hobi yang dilakoni oleh Mogens ini bisa dibilang luar biasa. Bahkan di negara asal yg tidak memiliki gunung tinggi, dia mampu melakukan pendakian hingga ke Everest. Mogens memiliki penyikit asma yg terbilang kronis. Penyakit tersebut tidak menghalangnya untuk mendaki gunung tertinggi di dunia, bahkan dia berusaha untuk melawan penyakitnya dengan cara melakukan summit attack tanpa menggunakan bantuan oksigen. (Also, he’s my favorite :p)

source: buddytv.com
Mark Inglis, pendaki asal New Zealand. Inglis tidak memiliki kaki sempurna, kedua kakinya diamputasi pada saat mendaki gunung Cook dan ia terjebak di goa salju selama 13 hari yg kemudian kedua kakinya terkena frostbite sehingga harus diamputasi dari jari kaki hingga lutut. Sebelum ke Everest, Inglis berhasil mendaki gunung Cho Oyu hingga puncak, yg merupakan salah satu dari eight-thousander. Keberhasilannya mencapai puncak gunung Cho Oyu menjadikannya orang kedua yg mampu menggapai puncak dengan kedua kaki yg teramputasi. Kemudian Inglis berusaha untuk menggapai puncak Everest dan ingin menjadi orang pertama dg kedua kaki amputasi yg berhasil mencapai puncak Everest.
source: 7summits.com
Max Chaya, pendaki asal Lebanon. Max telah menyelesaikan 6 dari 7 summits, dan ekspedisi Everest ini merupakan final dari 7 summits yg ia lakukan.
Source: static.cinemagia.ro
Tim Medvetz, pendaki asal California, Amerika Serikat. Lebih tepatnya Tim adalah seorang biker. Tim pernah mengalami kecelakaan motor yg membuat tengkorak, tulang belakang, betis, dan telapak kakinya ditanami dg metal. Pada saat dirawat, Tim divonis oleh dokter bahwa ia tidak akan bisa berjalan lagi. Kemudian dia ingin membuktikan bahwa ia mampu berjalan dan bisa mencapai puncak Everest.
Source: images.buddytv.com
Brett Merrell, pemadam kebakaran asal Los Angeles, Amerika Serikat. Brett merupakan salah seorang pemadam kebakaran yg bertugas pada tragedy 9/11. Tujuan pendakiannya ke Everest adalah untuk mengenang kawan-kawannya yg telah meninggal pada tragedi 9/11 dg mengibarkan bendera di puncak gunung Everest. Mendaki gunung Everest bukanlah hal yg mudah didapat. Biaya yg mahal mengharuskannya untuk menjual Harley Davidson dan menggadaikan rumahnya.
Source: images.buddytv.com
Terry O’Connor, dokter yg berasal dari Oregon, Amerika Serikat. Ia memiliki keahlian pada high altitude sickness, yg kemudian menjadikannya sebagai dokter ekspedisi.
Source: nicematin.com
Gerard Bourrat, pendaki berasal dari Perancis. Gerard berumur sekitar 60 tahun dan yg merupakan paling tua dari tim ekspedisi. Gerard terpaksa harus memotong satu ginjalnya akibat kanker ginjal yg di deritanya.
Mereka adalah bagian dari tim ekspedisi. Dengan kapabilitas dan latar yg berbeda satu sama lain. Setiap tim ekspedisi disertai oleh seorang Sherpa yg bertugas untuk menjaga dan mengarahkan mereka.
Perjalanan mereka dilakukan selama 40 hari di Everest Base Camp. Menghabiskan banyak waktunya dengan aklimatisasi untuk membiasakan tubuhnya di wilayah yg tidak biasa, yaitu diatas ketinggian 5,000 mdpl. Sedangkan dalam melakukan summit attack mereka melakukannya selama 5 hari. Karena seperti yg kita ketahui bahwa untuk menggapai puncak gunung Everest tidaklah mudah.
  • Suhu di gunung Everest adalah sekitar -30 hingga -60 derajat celcius, dimana mampu membekukan manusia.
  • Angin kencang selalu menerpa gunung Everest hingga kecepatan 125mph.
  • Puncak gunung Everest berada di atas ketinggian 8,000 mdpl. Lebih tepatnya berada di death zone karena suplai oksigen sangat tipis diatas ketinggan 8,000mdpl. Sehingga untuk mencapai puncak, disarankan untuk menggunakan bantuan oksigen. Tanpa adanya oksigen yg cukup, secara perlahan otak akan berhenti fungsinya.
  • Ancaman seperti longsor, crevasse, batu yg berjatuhan akan selalu ada.
Jika manusia tidak mampu membiasakan tubuhnya dengan wilayah yg seperti itu, maka dengan cepat akan terkena high altitude sickness yg dapat menyebabkan pusing, halusinasi, pingsan, bahkan hingga kematian. Selain itu penyakit seperti frostbite akan selalu menghantui. Tidak hanya itu saja, dengan kebutuhan oksigen yg kurang, tubuh akan mengkonsumsi dirinya sendiri. Selama aklimatisasi pun, akan ada gejala tubuh membiasakan dirinya, seperti insomnia, mual, muntah, dan tidak nafsu makan.
 Ekspedisi ini bukanlah kompetisi. Tidak ada yg berkompetisi siapa yg berhasil menggapai puncak atau tidak. Akan tetapi menunjukkan kepribadian masing-masing dalam menghadapi situasi yg benar-benar kritis. Sehingga perjalanan mereka penuh dengan konflik. Konflik dengan diri sendiri. Dengan ambisi, harga diri, dan kehidupannya. Anyway, setelah mereka melakukan aklimatisasi, akhirnya mereka memulai perjalanan untuk mencapai puncak Everest. Mereka dibagi menjadi 2 tim. Yg memiliki tubuh fit berada di tim 1, dan yg kurang berada di tim 2. Russell Brice adalah leader dari ekspedisi. Brice tidak ikut mendaki gunung, namun ia memantau dan memberikan instruksi dari Advance Base Camp. Sehingga nyawa dari seluruh tim ekspedisi ada di tangannya. Selama perjalanan pun, mereka dihadapkan dengan berbagai peristiwa. Seperti adanya pendaki dari India yg tengah berjuang melawan kematian dari high altitude sickness yg dideritanya sehingga membutuhkan pertolongan untuk kembali ke Base Camp, bertabrakan jadwal dengan ekspedisi rival sehingga menimbulkan kemacetan, adanya pendaki wanita yg tidak sadar sehingga membutuhkan pertolongan, hingga salah satu tim ekspedisi yaitu Max menemukan seorang pendaki yg tengah kritis akibat hiportemia dan frostbite. Pendaki tersebut sedang meregang nyawanya di bawah gua kecil sedangkan Max yg tidak tega dengan pendaki tersebut turut memberikan bantuan dan meminta saran dari Brice untuk menolong pendaki yg sekarat tersebut. Adapun konflik paling klimaks adalah konflik antara Brice dengan Tim dan Gerard yg berambisi untuk mencapai puncak yg jaraknya hanya 350m. Dengan kondisi yg tidak memungkinkan, Brice memohon Tim dan Gerard untuk turun, akan tetapi kedua pendaki tersebut bersikeras meminta kesempatan untuk mencapai puncak.
Menurut saya, film dokumenter ini menarik. Memberikan banyak gambaran mengenai apa saja yg akan dihadapi selama melakukan pendakian di Everest. Tidak hanya memperlihatkan sisi menyeramkan dari gunung Everest saja, tetapi juga memperlihatkan sisi galau dari para pendaki. Ya, galau. Pada saat mereka dihadapkan dengan situasi yg tidak diinginkan, semisal yg dihadapkan oleh Brett Merrel yg pada saat melakukan aklimatisasi menuju North Col Camp 1. Di tengah perjalanan Brett mengalami sakit kepala yg hebat, yg merupakan gejala dari high altitude sickness. Pada saat kondisi tersebut, terdapat pertentangan hebat di dalam dirinya. Apakah ia harus meneruskan perjalanan dengan kondisi yg seperti itu dan berharap mendapatkan pertolongan di Camp 1, berdiam diri, ataukah mengumpulkan seluruh sisa tenaganya untuk kembali ke ABC. Padahal saat itu Camp 1 sudah terlihat di depan mata. Bagi saya, konflik dengan diri sendiri adalah hal yg paling galau daripada konflik dengan orang lain. Karena cara diri untuk mengatasi konflik dg diri sendiri adalah sebagai penentu dari sikap asli diri sendiri. Terdapat pepatah yg bilang, secara garis besar, bahwa sifat asli akan terlihat apabila sedang mendaki dan berada di atas gunung. Bagi saya pepatah itu benar.
Source: blogs.dw.de
Russell Brice adalah seorang hero. Seorang leader yg mampu mengarahkan dengan baik. Brice selalu melakukan pemantauan terhadap timnya. Baik memantau keadaan cuaca, memberikan solusi dari permasalahan yg dihadapi oleh timnya, hingga selalu memantau posisi timnya melalui telescope. Bahkan pada saat malam hari ia tetap stand-by dengan HT-nya. Padahal malam hari itu tampak sangat membeku, terlihat dari sleeping bag Brice yg dihiasi oleh kristal salju. Ia tidak hanya memikirkan keselamatan akan tim ekspedisi saja, tetapi juga dengan Sherpa-nya. Brice mengerahkan beberapa anggota Sherpa, termasuk Phurba, untuk mempersiapkan logistik di setiap camp. Tidak hanya itu saja, Sherpa juga ditugaskan untuk memasang jalur tali dan tangga hingga puncak gunung Everest. Hal tersebut tidaklah mudah. Bahkan lebih memberikan ancaman kematian dan kecelakaan bagi Sherpa-nya. Tampang kekhawatiran Brice saat Sherpa mendaki sangat terlihat, dan keceriaannya saat Sherpa kembali ke Base Camp.
Source: himalayanexperience.com
Scene paling klimaks menurut saya adalah pada saat masing-masing tim berjuang mencapai puncak gunung Everest. Perasaan bahagianya dapet. Sedangkan scene paling emosional adalah pada saat Max bertemu dengan pendaki yg tengah sekarat, meregang nyawa. Dan Max yg ingin menolong pendaki tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Max sampai menghubungi Russell dan meminta saran apa yg harus ia lakukan untuk menolong pendaki tersebut. Max telah menolongnya dengan berbagai cara, yaitu dengan memberikan oxygen dan minum. Tapi, tampaknya bantuan Max sia-sia karena pendaki tersebut dalam kondisi yg tidak sadar. Pendaki tersebut diketahui bernama David Sharp. Yg kemudian menimbulkan kontroversi dalam film dokumenter ini.
Perjuangan yg dihadapkan oleh tim ekspedisi, Sherpa, Brice, hingga pendaki unknown lainnya mampu membawa perasaan emosional dan...tegang. Bagi saya sih hahaha. Apalagi orang-orang dari tim tersebut memiliki karakter dan fisik yg tidak biasa. Dari film dokumenter ini, saya dapat memiliki gambaran tentang gunung Everest. Memang saat ini belum punya cita-cita mencapai puncak gunung Everest sih, hahaha. Too much for me. Tapi saya sangat mengagumkan gunung Everest, dan film dokumenter ini membuat saya ingin untuk berkunjung kesana. Walaupun sekedar wandering around di Base Camp-nya aja. Hahaha. Aamiin :D

0 comments:

Post a Comment